PANDORA #PART-04
Haruka masih terisak dan aku serta yang lainnya juga tak
tahu harus berbuat apa. Sekujur tubuh kami dibasahi keringat dingin karena
ketakutan. Di lorong pintu masuk rumahku, Saori masih berdiri dengan tatapan
kosong sambil mengunyah rambutnya.
“Ibu! Ibu!” panggilku. Ibuku keluar dan dengan mata
membelalak menatap Saori. Aku mencoba menjelaskan kepadanya, namun dengan
segera ia menampar wajahku dan ketiga anak lainnya. Ia menjerit ke arah kami
semua.
“Kalian pergi ke sana kan? Kalian pergi ke rumah terlarang
itu!”
Yang dapat kami lakukan hanya mengangguk. Kami tak mampu
mengatakan apapun untuk membela diri kami.
“Masuk ke dalam, kalian semua! Aku akan memanggil orang tua
kalian!” ibuku kemudian membawa Saori ke atas.
Aku melakukan perintah ibuku dan diam di ruang tamu. Aku
bahkan tak bisa berpikir apa-apa lagi. kami hanya duduk di sana selama sejam
hingga akhirnya semua orang tua kami datang.
Ketika orang tua kami datang, ibuku segera turun dari lantai
atas.
“Mereka pergi ke rumah itu!” pekiknya.
Para orang tua tampak marah dan kecewa hingga berteriak
kepada kami.
“Apa?! Apa yang kalian lihat di sana?”
Kami semua terkejut dengan semua bentakan itu dan tak mampu
menjawabnya. Namun, Atsushi dan Kazuchika berhasil menjelaskannya kepada
mereka.
“Kami melihat sebuah meja rias dan rambut yang aneh... aku
juga memecahkan kaca depan...”
“Lalu....apa lagi yang kalian lihat?”
“Selain itu...kami meihat beberapa kertas dengan dua huruf
tertulis di atasnya ...”
Kamar itu menjadi sunyi seketika, namun pada saat yang sama
terdengar jeritan dari lantai atas.
Ibuku langsung berlari ke atas dan kemudian turun kembali. Ia
memegang pundak ibu Saori. Pipinya basah dengan air mata.
“Saori...apa dia melihat ke dalam laci?” ibu Saori datang
mendekati kami penuh rasa cemas.
“Apa kalian membuka laci ketiga dan melihat isinya?” ia
mengulang pertanyaannya.
“Laci ketiga di meja rias di lantai atas. Apa kalian melihat
ke dalamnya?” orang-orang tua lain mulai bertanya.
“Laci pertama dan kedua kami melihat isinya....tapi yang
ketiga, hanya Saori yang melihat...”
Setelah aku mengatakannya, ibu Saori mencengkeram tanganku
dan menjerit, “Kenapa kalian tak menghentikannya? Dia teman kalian! Mengapa
kalian tak menghentikannya? Mengapa?”
Ayah Saori dan orang-orang tua lainnya berusaha
menenangkannya.
“Tenanglah!”
“Kumohon, sayang! Tenangkan dirimu!”
Mereka berhasil menariknya, namun ia masih tampak histeris.
Para orang tua mulai menenangkan diri mereka dan mulai bercerita.
“Tak ada yang pernah tinggal di rumah yang kalian datangi
itu. Rumah itu dibangun khusus untuk meja rias dan rambut itu. Semacam kuil.
Bangunan itu sudah ada sejak kami kecil.”
“Rambut itu rambut manusia asli,” ayah Kazuchika berkata,
“Kalian melihat kertas yang ada di dalam laci itu kan? Apakah ini yang tertulis
di sana?”
Ia mengambil sebuah kertas dan menuliskan sesuatu di sana.
“Ya benar! Tulisan itu yang kami lihat.”
Ayah Kazuchika lalu segera meremas-remas kertas itu dan
membuangnya ke tempat sampah. Ia melanjutkan ceritanya.
“Kata itu sebenarnya adalah sebuah nama; nama dari perempuan
yang rambutnya kalian lihat di sana. Nama itu memang tak biasa...” ia berhenti
beberapa saat sebelum kembali bercerita, “Semua yang perlu kalian tahu adalah:
kalian tak boleh, dengan alasan apapun, membicarakan tentang rumah itu lagi!
Kalian tidak boleh berada dekat-dekat dengan rumah itu! Mengerti!”
Wajah ayah Kazuchika tampak serius saat itu dan kamipun
mengangguk patuh.
“Sekarang sudah malam. Orang tua kalian akan membawa kalian
pulang sekarang. Kalian pasti lelah.”
Tiba-tiba Kazuchika berdiri, “Bagaimana dengan Saori? Apa ia
akan baik-baik saja?”
“Lupakan tentang dia.” jawab ayah Kazuchika dengan dingin,
“Ia takkan pernah menjadi Saori yang kalian kenal dulu.” ia lalu menatap kami
dengan sorot mata penuh kesedihan. “Ibunya akan terus menyalahkan kalian atas
apa yang terjadi dengan putrinya. Ia takkan membiarkan kalian melihat Saori
lagi.”
Sejak saat itu, hidup kembali berjalan normal, kecuali satu
hal. Kami tak pernah melihat Saori lagi. Guru kami mengatakan keluarganya sudah
pindah ke tempat lain.
Kamipun tak pernah membicarakan hal itu lagi. Sepertinya
kabar bahwa kami mendobrak masuk ke rumah itu telah menyebar sehingga
larangan-pun semakin ketat. Bahkan anak-anak pun sekarang sudah tak berani
membicarakan rumah itu di belakang orang tua mereka. Kaca yang dipecahkan
Atsushi pun sekarang ditutup dengan papan kayu sehingga tak seorangpun dapat
mengintip ke dalam.
Kamipun menyelesaikan sekolah kami dan waktu serasa berjalan
sangat cepat. Kami berempat yang semula bersahabat baik semakin menjauh ketika
kami kuliah di kota-kota yang berbeda. Satu hal terjadi ketika aku lulus dari
kuliah dan pulang ke rumah. Aku melihat ibuku membaca surat dari ibu Saori.
Ketika aku bertanya dimana Saori, ibu menolak untuk menjawab. Ibuku juga
menolak untuk menceritakan si surat itu kepadaku. Namun apa yang ia katakan masih
menghantuiku sampai kini.
“Ia memilih untuk melakukan ini kepada Saori karena ia adalah
ibunya. Jika kau ada di posisinya, kau pasti juga akan melakukan hal yang sama.
Meskipun kau tahu itu adalah pilihan yang salah.”
Aku diam-diam menyelidikinya, tentang meja rias dan rambut
itu. Akupun menemukan kenyataan yang mengerikan.
TO BE
CONTINUED
ternyata masih banyak partnya...
BalasHapus