Background
Inilah bagian terakhir dari ceritaku.
Setelah rumah tua itu selesai dibangun, tak ada yang berusaha masuk selama puluhan tahun. Namun seperti saat aku dulu, anak-anak muda dari generasi orang tuaku juga sangat penasaran dengan isi rumah itu. Namun mereka sangat dilarang untuk membicarakannya, apalagi masuk ke sana.
Kalian mungkin ingat ceritaku tentang keluarga Atsushi. Ibu dan neneknya berasal dari kota ini, namun ibunya pindah ke prefektur lain setelah menikah.
Itu adalah sebuah kebohongan.
Ketika mereka masih kecil, empat anak – ibu Atsushi yang bernama Izumi, orang tua Kazuchika, dan seorang anak lain yang bernama Eiji – pergi ke rumah itu. Mereka pergi saat tengah malam bahkan membawa tangga untuk masuk ke dalam rumah melalui jendela lantai dua.
Tak ada yang mereka temukan di kamar pertama dan mereka melanjutkan ke kamar kedua. Di sana mereka melihat meja rias dan rambut di tengah ruangan. Mereka semua sangat ketakutan, namun Izumi sangatlah pemberani. Ia bahkan membuka laci pertama dan kedua untuk melihat isinya. Untunglah, sebelum ia membuka laci ketiga, teman-temannya yang lain berhasil menghentikannya dan mengajaknya pergi dari tempat itu.
Namun itu tak menghentikan masalah lain muncul.
Ketika mereka turun melalui tangga di dalam rumah, mereka menemukan meja rias lain. Tiga anak yang lain kembali ketakutan dan memohon agar mereka pulang saja, namun Izumi menolak.
Seperti adik Saori, Izumi mulai membuka laci-laci tersebut.
Ia membuka laci pertama dan menemukan kertas dengan beberapa serpihan kuku manusia.
Yang lain berpikir bahwa keadaan mulai bertambah menakutkan dan memaksanya pulang. Namun Izumi sama sekali tak mengindahkan mereka.
Ketiga temannya mulai bersikeras agar Izumi menghentikan perbuatannya dan menarik tubuh Izumi. Dalam pergumulan itu, mereka tak sengaja menyenggol tiang itu sehingga rambut di atasnya terjatuh.
Rambut itu adalah hal paling menakutkan di rumah itu. Bahkan Izumi tak berani untuk menyentuhnya. Mereka berempat kemudian meninggalkan rambut itu di lantai dan bergegas pulang.
Setelah dua-tiga hari, mereka mulai bertanya-tanya akankah orang tua mereka mengetahui apa yang mereka lakukan malam itu. Merekapun sepakat untuk mengembalikan rambut itu ke posisi semula untuk menghilangkan jejak mereka.
Orang tua Kazuchika tak dapat pergi karena suatu alasan, sehingga hanya tersisa Eiji dan Izumi.
Untuk kedua kalinya mereka masuk ke rumah itu pada malam hari dan menggunakan tangga untuk masuk ke jendela kamar lantai dua. Mereka juga membawa sepasang sumpit untuk mengambil rambut itu dari lantai dan akhirnya berhasil mengembalikannya ke tempat semula.
Setelah selesai, Eiji segera memaksa Izumi agar pulang. Namun entah mungkin karena didorong rasa usilnya, Izumi malah membuka laci yang kedua.
Di dalamnya mereka menemukan kertas dengan gigi manusia.
Eiji sangat ketakutan bahkan menangis melihatnya. Izumi menganggap reaksi Eiji sangat lucu dan berniat mengerjainya lebih jauh. Ia membuka laci ketiga dan mendorong kepala Eiji agar ia melihat isi laci tersebut.
Eiji menyaksikan apa yang ada di dalam laci itu dan ekspresinya berubah menjadi kaku.
“Apa isi laci itu?” saat Izumi hendak melihatnya, tiba-tiba laci itu menutup dengan sendirinya. Ia lalu menatap Eiji yang kini hanya terdiam terpaku seperti patung. Tatapannya kosong dan ia tak bergerak sedikitpun.
Izumi mulai merasa takut dan karena tak tahu apa yang harus ia lakukan, ia memutuskan meninggalkan Eiji di sana. Segera setelah ia pulang, Izumi memberitahukan apa yang terjadi ibunya.
Wajah ibu Izumi menjadi sangat pucat dan hal yang lebih aneh kemudian terjadi.
Ibu Izumi memberitahu orang tua Eiji dan mereka segera menjemput Eiji dan mengeluarkannya dari rumah itu. Setelah setengah jam, mereka akhirnya kembali bersama Eiji. Terlihat mulut Eiji dipenuhi sesuatu berwarna hitam dan mereka melihat beberapa helai rambut bergantung dari sudut mulut Eiji.
Rambut itu bukan miliknya.
Orang tua Eiji tak mengatakan sepatah katapun. Yang mereka lakukan hanya menatap Izumi dengan raut penuh kebencian.
Orang tua Eiji kemudian membawanya pergi jauh. Namun sebelum mereka melakukannya, mereka terus-menerus mengunjungi rumah Izumi setiap hari. Mungkin Izumi sendiri tak tahan dengan kunjungan-kunjungan itu sehingga ibunya pun mengirimnya untuk pergi jauh.
Itulah cerita mengenai Pandora, nama yang tak boleh disebutkan itu.
Tak ada yang tahu tentang isi laci ketiga itu sebab siapapun yang melihatnya akan bernasib sama seperti Saori dan Eiji, namun ada desas-desus mengenai isi laci ketiga itu. Mungkin informasi ini diperoleh dari orang tua Yachiyo, yang entah kenapa, mampu menangkal kutukan itu.
Laci ketiga itu berisi potongan tangan.
Di laci meja rias Yoshiko di lantai dua terdapat tangan kiri dan di meja rias milik Yachiyo di depan tangga terdapat tangan kanan.
Bahkan ada yang menyebut, potongan tangan itu bergerak dan itulah yang membuat siapapun yang melihatnya menjadi gila.
Apakah tangan-tangan itu milik Yachiyo yang ditinggalkannya untuk melindungi nama-nama itu agar tak seorangpun mengetahuinya, aku tak tahu. Mungkin memang sebaiknya cerita ini berselimutkan misteri.
Rumah itu masih ada di wilayah timur Jepang, namun aku takkan memberitahukan lokasinya pada kalian.
Dan tentang isi surat dari ibu Saori aku sepertinya bisa menebak isinya, sebab kemudian aku mendengar kabar bahwa Saori dan ibunya meninggal. Aku takkan menceritakan lebih dari itu.
Akhir kata, aku harus meminta maaf pada kalian.
Selama ini aku menyembunyikan suatu fakta penting pada kalian.
Namun kalian harus mengerti bahwa aku terpaksa melakukannya. Sebab jika aku mengungkapkannya sejak awal, maka kalian akan menyalahkanku atas semua yang terjadi pada Saori.
Aku menceritakan ada 6 orang yang datang ke rumah itu, yakni aku, Atsushi, Kazuchika, Naoki, Saori, dan adiknya Haruka.
Namun kenyataannya hanya ada 5.
Akulah Atsushi. Dan aku tak bisa mengungkapkan betapa aku menyesali apa yang terjadi pada temanku, Saori.



TAMAT


Sekarang aku akan menjelaskan alasan mengapa kisah itu penting.
Pada kenyataannya, tradisi mengerikan itu tak bertahan lama. Orang-orang lama-lama meragukan tradisi tersebut hingga akhirnya kepercayaan itupun luntur. Akhirnya hubungan antara ibu dan anak berjalan seperti biasa seperti sekarang ini. Tradisi itupun akhirnya dilupakan.
Namun tetap ada dua kebiasaan yang masih bertahan hingga kini, yaitu kebiasaan memberikan “nama sesungguhnya” pada anak perempuan dan kebiasaan mewariskan meja rias untuk putrinya.
Suatu saat, seorang wanita bernama Yachiyo yang dibesarkan dengan cara ini, menikah dan memiliki keluarga normal. Seperti yang dilakukan ibunya kepadanya, Yachiyo memberikan nama tersembunyi pada putrinya, Yoshiko dan menyiapkan sebuah meja rias untuknya.
Keluarga itu hidup dengan damai, hingga Yoshiyo berumur sepuluh. Dan terjadilah peristiwa itu.
Suatu hari Yachiyo pergi mengunjungi orang tuanya, meninggalkan Yoshiko di rumah bersama suaminya. Ia pulang larut malam dan ketika ia tiba di rumah, ia menemukan sesuatu yang sangat mengerikan.
Yoshiko telah tewas. Kuku-kuku dan giginya telah tercabut. Darah berceceran dimana-mana.
Yachiyo mencari ke seluruh rumah dan menemukan serpihan kertas bertuliskan nama tersembunyi Yoshiyo di lantai. Kuku dan gigi Yoshiyo berserakan di meja rias putrinya.
Suaminya tak ada dimanapun.
Yachiyo hanya bisa menangis sambil memeluk jenazah putrinya. Tetangga yang mendengar tangisan Yachiyo datang dan berusaha membantunya. Ada yang berinisiatif menghubungi orang tua Yachiyo, sementara ada pula yang berusaha mencari suaminya.
Namun tak ada yang menemani Yachiyo.
Malam itu, Yachiyo memutuskan untuk bunuh diri di samping jenazah anaknya. Ia menyayat kedua pergelangan tangannya dengan pisau.
Ketika orang tua Yachiyo mendengar kabar kematian cucu mereka, reaksinya mereka sungguh dingin.
“Aku pikir aku tahu apa yang terjadi,” kata ibu Yachiyo, “Yoshiko pasti mendengar tentang ritual itu dari Yachiyo dan memutuskan untuk mencobanya sendiri. Yachiyo pasti tak menceritakannya dengan lengkap sehingga ia hanya menangkap bagian-bagian tertentu saja. Kemudian, ia menunggu hingga berumur 10 tahun untuk melakukannya.”
Ketika orang tua Yachiyo datang ke rumah malam itu, mereka menemukan Yachiyo juga telah tewas. Para tetangga merasa shock.
Orang tuanya segera memerintahkan, “Tak ada yang boleh masuk ke dalam rumah sebelum kami pergi.” Setelah berkata seperti itu, merekapun masuk.
Setelah berada di dalam selama beberapa jam, mereka akhirnya keluar. “Kami akan mengadakan upacara pemakaman. Kalian tak perlu mencari suaminya. Kalian akan mengerti segera.” mereka lalu memaksa para tetangga untuk pulang kembali ke rumah mereka.
Suaminya tetap menghilang selama beberapa hari. Namun suatu hari, ia ditemukan tewas di depan rumah mereka. Ketika ia ditemukan, segumpal rambut hitam yang panjang ditemukan tersumpal di mulutnya.
Para tetangga Yachiyo menanyakan pada orang tua Yachiyo mengapa ini terjadi.
“Siapapun yang masuk ke dalam rumah Yachiyo akan berakhir seperti ini,” ibunya berkata, “Rumah ini telah dikutuk. Siapapun, tolong jangan pernah masuk ke dalam rumah ini lagi!”
Sejak itu rumah tersebut menjadi semacam kuil untuk mengenang Yachiyo dan Yoshiko dan dibiarkan apa adanya. Selama bertahun-tahun, masyarakat mengikuti larangan orang tua Yachiyo untuk tidak memasukinya dan rumah itupun tak pernah tersentuh lagi.
Hingga akhirnya, rumah itu dirubuhkan karena mulai meresahkan. Namun di dalamnya mereka menemukan benda itu. Benda yang sama seperti yang kami lihat.
Meja rias dan rambut.
Mengetahui bahwa benda-benda itu mengandung kutukan, warga pun berinisiatif memindahkannya. Mereka membangun sebuah rumah baru yang sama persis dengan rumah Yachiyo di luar kota, di tempat yang jarang dikunjungi. Mereka meletakkan meja rias dan rambut itu di dalamnya dan mereka sengaja membuat dinding di pintu rumah itu. Tentu agar tak ada seorangpun yang masuk dan terkena kutukannya.
Hanya itulah penjelasan mengenai apa yang kami lihat. Dua meja rias dan rambut itu masing-masing milik Yachiyo dan Yoshiko.
Namun cerita ini tak berakhir sampai di sini.


TO BE CONTINUED


Di keluarga tertentu di Jepang, seorang ibu akan meneruskan tiga tradisi kepada putri mereka. Biarkan kujelaskan mengenai tradisi-tradisi itu.
Pertama, anak perempuan adalah milik ibu mereka dan akan diperlakukan seperti itu. Jika seorang wanita melahirkan dua atau tiga anak perempuan, ia akan memilih salah satunya untuk menjadi “miliknya”. Putri yang terpilih ini akan diberikan dua nama, salah satunya adalah nama aslinya. Nama asli itu tak diketahui oleh siapapun, kecuali ibunya.
Nama tersebut juga akan memiliki cara pengucapan yang berbeda dengan huruf kanjinya, sehingga bila orang lain menemukannya dan membacanya, orang tersebut takkan tahu cara mengucapkan nama aslinya. Bahkan jika ibu itu sedang sedang berdua saja dengan putrinya, nama itu tetap takkan digunakan.
Nama itu digunakan untuk memperat ikatan antara ibu dan putrinya dan membuktikan bahwa anak tersebut adalah “milik” ibunya.
Sebagai tambahan, pada hari ibu itu memberi nama anak perempuannya, ia harus mempersiapkan sebuah meja rias. Putrinya tersebut tak diizinkan melihat meja rias tersebut kecuali pada hari ulang tahunnya yang ke-10, ke-13, dan ke-16.
Kedua, untuk meningkatkan nilai “barang miliknya” tersebut, ibu tersebut akan memaksakan “didikan” tersendiri kepada anaknya tersebut sejak usia dini (anak perempuan lain yang tak dipilihnya akan dididik secara biasa). Contohnya, ibu tersebut akan memaksa putrinya untuk:
Menyayat wajah kucing atau anjing
Menyimpan patung tanpa kepala sebagai “peliharaannya” (bahkan keluarga dan orang-orang lain yang ada di sekitar anak perempuan tersebut akan berpura-pura seolah patung tanpa kepala itu hidup untuk mengelabui gadis itu agar percaya bahwa mainannya benar-benar hidup).
Memisahkan bagian-bagian tubuh laba-laba dan kemudian menyatukannya kembali seusai bentuk semula.
Memakan kotorannya sendiri dan meminum air kencing (baik miliknya sendiri maupun milik orang lain)
Ini hanya sebagian kecil sebab aku tak sanggup untuk menulis keseluruhannya. Percaya saja kepadaku bahwa mendengar cerita selengkapnya akan membuat perutmu mual.
Namun ini belumlah seberapa. “Didikan-didikan” ini akan berjalan hingga anak itu berumur 13 tahun. Kemudian ibu tersebut akan melakukan tiga ritual upacara. Inilah tradisi yang ketiga.
Upacara pertama dilakukan saat anak itu berumur 10 tahun. Sang ibu akan mendudukkan anaknya di depan sebuah meja rias dan memerintahkan anaknya memberikan kukunya sebagai persembahan.
Inilah pertama kalinya anak tersebut menyadari keberadaan meja rias tersebut.
Dan tentu saja, persembahan itu dilakukan dengan cara mencabut kuku itu secara keseluruhan.
Anak tersebut akan mencabut kukunya sendiri dan memberikannya kepada ibunya. Ibunya kemudian akan menaruh kuku tersebut di dalam sebuah kertas bertuliskan nama rahasia putrinya di laci teratas meja rias tersebut.
Setelah itu, sang ibu akan duduk seharian di depan meja rias itu untuk mengakhiri upacara tersebut.
Upacara kedua dilakukan saat sang anak perempuan berumur 13 tahun. Seperti upacara pertama, anak tersebut harus memberikan persembahan. Kali ini yang harus ia persembahkan adalah giginya.
Ia harus mencabut giginya sendiri dan kemudian ibunya akan menaruhnya ke dalam laci kedua berserta kertas bertuliskan nama rahasia sang anak. Sekali lagi, sang ibu akan mengakhiri upacara dengan duduk di depan meja rias tersebut hingga hari berakhir.
Tiga tahun kemudian, ketika anak itu berumur 16 tahun, upacara terakhir pun dilakukan.
Dalam upacara terakhir, sang ibu akan memakan rambut anaknya sendiri di depan meja rias. Harus dipastikan bahwa sang ibu harus mencerna rambut itu agar menjadi satu dengan dirinya.
Rambut anak perempuannya itu harus dicukur sampai habis dan ibunya akan menatap ke dalam cermin di meja rias, memakannya seolah-olah ia dalam keadaan kesurupan. Apa yang anak perempuannya hanya bisa lakukan hanyalah menatapnya.
Akhirnya saat ibu tersebut selesai memakan rambut, pada saat itu ia akan mengatakan nama asli anak gadisnya itu.
Saat itu akan menjadi pertama sekaligus terakhir kalinya ia mendengar namanya yang sesungguhnya.
Namun kenyataan yang menunggu setelah upacara itu selesai sangatlah mengerikan. Mulai hari itu, sang ibu bukanlah manusia lagi, melainkan sebuah “cangkang” kosong. Ia akan terus mengunyah rambut anaknya siang dan malam, seolah-olah jiwa dan kesadarannya tak ada lagi. Ia harus dibawa ke suatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang tahu. Ia juga harus hidup dalam isolasi seumur hidupnya, tak boleh bertemu dan berhubungan dengan siapapun. Semua upacara ini bertujuan menyiapkan ibu tersebut ke tempatnya, yakni “surga” dalam keadaan murni dan suci.
Bagaimana dengan anak perempuannya? Ia akan dibawa untuk diasuh oleh bibinya. Oleh sebab itu, keluarga pada zaman itu memilih untuk memiliki lebih dari satu anak perempuan. Ia akan diasuh oleh bibinya itu sementara ibunya dipercaya “menghilang ke surga”.
Sang anak kemudian akan tumbuh dewasa, menemukan lelaki yang cocok dengan dirinya, menikah, dan memiliki anak. Kemudian siklus ini akan diulang terhadap putrinya sendiri.
Hanya itu yang berhasil kuperoleh tentang keluarga-keluarga ini. Ada banyak detail sebenarnya, namun terlalu panjang jika kujelaskan di sini. Aku tahu banyak yang tak mengerti, akupun juga. Namun ini adalah kunci untuk memahami apa yang berada di dalam rumah itu dan apa yang terjadi pada Saori.

TO BE CONTINUED